Kain batik dapat dikategorikan ke dalam salah satu produk kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Berbicara mengenai batik mungkin banyak diantara anda yang belum tahu bahwa ada motif-motif tertentu yang dulu hanya boleh dipakai di lingkungan keraton Yogyakarta lho.
Definisi Batik
Secara etimologi kata batik berasal dari bahasa Jawa ambhatik, “ambha” berarti “luas” dan “tik” berarti “titik” atau “matik” (kata kerja dalam bahasa Jawa yang berarti membuat titik). Kata tersebut kemudian meluas menjadi batik yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang lebar.
Sumber : https://www.bukalapak.com/
Berdasarkan metode pembuatannya batik bisa juga diartikan sebagai kain bergambar yang diciptakan dengan cara khusus yakni dengan menorehkan lilin malam pada kain mori dengan bantuan canting cap atau canting tulis, kemudian kain diproses lebih lanjut dengan pencelupan pada bahan pewarna batik.
Sumber : https://phinemo.com/
Rumitnya teknik pembuatan batik dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membatik, menjadikan tiap goresan canting pada kain mori bisa diumpamakan sebagai sebuah lukisan yang penuh makna dari sang pembatik. Karena alasan itulah, tidak jarang ada motif batik yang tidak boleh digunakan sembarangan.
Sumber : https://www.faridagupta.com/
Khusus untuk kain batik di Yogyakarta misalnya terdapat beberapa motif batik larangan Keraton Yogyakarta yang kadang disebut Awisan Dalem. Motif batik larangan ini secara umum penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya.
Motif Larangan Keraton Yogyakarta
Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual serta aura magis yang terkandung dalam tiap-tiap motif batik menjadi salah satu alasan lahirnya batik larangan di Yogyakarta. Atas dasar itulah beberapa motif batik terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan.
Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain berupa kain batik dengan motif parang termasuk didalamnya ada parang rusak barong, parang rusak gendreh, parang klithik, motif udan liris, motif rujak senthe, motif cemukiran, motif kawung, motif huk dan juga motif semen.
Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu sebagai batik larangan. Motif batik inipun tidak hanya dimaknai sebagai simbol yang mencerminkan status pemakainya, namun juga menjadi alat komunikasi terhadap sesama penguasa, rakyat dan juga lawan politik.
- Motif batik parang rusak menjadi motif batik pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.
- Sementara saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung.
Motif Parang
Batik motif parang merupakan salah satu motif batik yang sangat populer di Indonesia. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta (1921-1939), motif parang dan variasinya menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta, artinya hanya raja dan kerabatnya diijinkan memakai.
Besar kecilnya motif parang juga menyimbolkan status sosial pemakainya di dalam lingkungan kerajaan. Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta.
- Parang rusak dengan ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
- Parang barong dengan ukuran 10 cm - 12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, kanjeng panembahan dan istri, kajeng gusti pangeran adipati dan istri, putra sulung sultan dan istri, putra-putri sultan dari permaisuri dan patih.
- Parang gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, pangeran sentana, para pangeran dan istri utamanya.
- Parang klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan dalem dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah dan wareng.
Sekalipun bentuk atau ornamen yang tergambar pada motif parang terlihat dangat sederhana, motif batik yang satu ini justru memiliki makna atau filosofi yang cukup mendalam.
Motif Motif batik parang rusak yang diciptakan oleh Panembahan Senopati ketika bertapa dipantai memiliki makna kebijaksanaan dan watak mulia karakter yang akan menang. Motif ini juga melambangkan kekuasaan dan kekuatan.
Sumber : https://infobatik.id/
Motif batik parang barong yang diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma memiliki makna pengendalian diri, kebijaksanaan dalam gerakdan kehati-hatian dalam perbuatan.
Sumber : https://krjogja.com/
Motif batik parang klitik yang memiliki stilasi halus dan ukuran pola yang lebih kecil memiliki kesan yang feminim dan melambangkan perilaku halus serta lemah lembut.
Sumber : http://fahmee76.blogspot.com
Motif Udan Liris
Motif udan liris termasuk ke dalam jenis motif batik yang bentuk pokoknya berupa garis-garis miring sejajar dengan latar berwarna putih. Motif udan liris ini bisa juga diartikan sebagai hujan gerimis atau hujan rintik-rintik yang merupakan simbol dari kesuburan, kesejahteraan dan rahmat dari Tuhan.
Sumber : http://canthingcraft.blogspot.com/
Berdasarkan ragam hias yang ditampilkan, motif udan liris sebenarnya didapat dari gabungan dari bermacam-macam motif dalam bentuk garis-garis sejajar. Motif yang dimaksud terdiri dari motif lidah api, setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada dan untu walang yang diatur memanjang diagonal.
Makna yang terkandung pada motif udan liris yaitu berupa pengharapan agar pemakainya selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa. Motif udan liris ini juga mengandung makna ketabahan menjalani hidup prihatin walau dilanda hujan dan panas.
Khusus di Keraton Yogyakarta dulunya batik ini termasuk ke dalam batik larangan dan hanya boleh dikenakan oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah, Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Namun dengan berjalannya waktu, motif ini bisa dipakai oleh siapa saja.
Motif Rujak Senthe
Sering disalah artikan sebagai motif udan liris karena corak yang ditampilkan sama-sama terdiri dari garis diagonal, motif rujak senthe pada prinsipnya termasuk ke dalam jenis motif yang memiliki keunikan tersendiri. Latar yang digunakan pada batik inipun tidak putih seperti udan liris melainkan hitam.
Sumber : https://indonesianbatik.id/
Mengusung filosofi yang dalam akan makna kehidupan, motif rujak senthe pada prinsipnya juga terdiri dari tujuh motif batik yang berbeda dalam setiap garis diagonalnya atau lerengnya. Motif yang dimaksud yakni berupa lidah api, setengah kawung, banji sawit, mlinjon, tritis, ada-adadan watu walang.
Motif yang berbeda di setip lerengnya ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan manusia akan banyak cobaan maupun rintangan yang menghadang, dan sebagai seorang manusia yang perlu dilakukan hanyalah menjalani segala cobaan tersebut dengan hati yang legowo dengan lapang untuk menyelesaikannya.
Dahulu motif rujak senthe ini termasuk motif larangan yang hanya diperkenankan dikenakan oleh keluarga kerajaan. Namun dengan berjalannya waktu, motif ini diperkenankan dipakai oleh siapa saja.
- Corak diagonal yang memenuhi kain memberikan sentuhan yang elegan pada pemakainya.
- Karakter motif rujak senthe yang melereng juga memberikan kesan yang kuat akan kemuliaan para pemakainya.
Motif Cemukiran
Motif cemukiran merupakan salah satu motif batik yang memiliki bentuk menyerupai lidah api atau sinar. Pola seperti sinar ini dapat diibaratkan sebagai pancaran matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan, keberanian, kesaktian, ambisi dan menjadi salah satu simbol penguasa.
Sumber : http://www.batikplentong.com/
Baik api maupun sinar dalam konsep Jawa juga dapat diterjemahkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu kriteria yang harus dimiliki seorang raja. Karena alasan itulah motif cemukiran ini umumnya hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Sumber : http://www.batikplentong.com/
Motif Kawung
Motif kawung merupakan motif yang berpola bulatan mirip buah kawung sejenis kelapa atau kadang juga dianggap sebagai buah kolang-kaling yang ditata rapi secara geometris. Terkadang, motif ini juga diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai) dengan empat lembar daun bunga yang merekah.
Sumber : http://bumdes-mall.com/
Motif kawung dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat ini dapat dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.
- Timur sebagai tempat terbitnya matahari dimaknai sebagai lambang sumber kehidupan.
- Utara menggambarkan gunung yakni lambang tempat tinggal para dewa, tempat roh/kematian.
- Barat sebagai tempat terbenamnya matahari memiliki arti turunnya keberuntungan.
- Selatan sebagai zenit yang berarti puncak segalanya.
Dalam hal ini raja sebagai pusat yang dikelilingi rakyatnya. Kerajaan merupakan pusat ilmu, seni budaya, agama, pemerintahan dan perekonomian. Rakyat harus patuh pada pusat, namun raja juga senantiasa melindungi rakyatnya.
Kawung juga melambangkan kesederhanaan dari seorang raja yang senantiasa mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Motif ini juga berarti sebagai symbol keperkasaan, keadilan dan kesejahteraan. Untuk itu pemakai batik ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya.
Sumber lain menyebutkan terdapat beberapa pendapat mengenai asal kata kawung di antaranya sebagai berikut:
- Kawung dalam bahasa Jawa berarti buah pohon aren/kolang-kaling.
- Kawung dalam bahasa Jawa berarti daun pohon aren, umumnya digunakan untuk melinting rokok.
- Kawung berasal dari kata bahasa Jawa, kwangwung atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kumbang tanduk.
- Kawung dari bahasa Jawa suwung bisa pula diartikan kosong.
Dalam kaitannya dengan kata suwung yang berarti kosong, motif kawung menyimbolkan kekosongan nafsu dan hasrat duniawi, sehingga menghasilkan pengendalian diri yang sempurna. Kekosongan ini menjadikan seseorang netral dan membiarkan segala yang ada disekitarnya berjalan sesuai kehendak alam.
Biasanya motif-motif kawung diberi nama berdasarkan besar-kecilnya bentuk bulat-lonjong yang terdapat dalam suatu motif tertentu dan atau kombinasi dengan motif batik lain.
1. Berdasarkan Ukuran
Berdasarkan ukuran, beberapa motif kawung dinamai dengan nama-nama koin yang beredar di zaman penjajahan Belanda walaupun urutan ini agaknya diragukan.
2. Berdasarkan Desain
Rancangan utama batik kawung tetap bertahan, tetapi mendapatkan modifikasi dan tidak mendapatkan ragam hias lain selain isen-isen.
3. Berdasarkan Kombinasi
Rancangan utama batik kawung tetap bertahan dan mendapatkan ragam hias lain (selain isen-isen) yang cukup mencolok.
Motif Huk
Huk merupakan motif batik yang juga termasuk ke dalam motif batik larangan. Sebelum pemerintahan Sultan HB IX (1940-88), motif ini konon hanya boleh dipakai putra mahkota dan Raja. Motif huk sendiri umumnya terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap) dan garuda.
- Motif kerang bermakna kelapangan hati.
- Binatang menggambarkan watak sentosa.
- Tumbuhan melambangkan kemakmuran
- Sedangkan sawat ketabahan hati.
Dalam budaya Jawa motif ini sering dipakai sebagai simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya. Karena alasan itulah motif huk hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Sumber : https://grahabatik.com/
Huk yang juga merupakan kata lain dari burung hantu bisa juga dimaknai sebagai simbol bahwa seorang pemimpin harus bertanggung jawab penuh kepada rakyat. Ibaratnya seperti burung hantu yang tajam penglihatannya, meskipun malam menyelimuti kerajaan seorang pemimpin harus tetap waspada mengayomi rakyat.
Motif Semen
Motif semen menjadi motif batik larangan berikutnya yang berkonotasi “semi” atau “tumbuh” sehingga motif semen ini dapat diartikan sebagai perlambangan kehidupan yang yang berkembang atau makmur. Motif semen juga termasuk ke dalam golongan dari batik klasik yang tersusun secara bebas.
Sumber : http://batik.or.id/
Ornamen motif semen terdiri dari 3 bagian yakni ornamen yang berhubungan dengan daratan, udara dan lautan.
- Ornamen yang berhubungan dengan daratan yakni berupa tumbuh-tumbuhan atau binatang berkaki empat.
- Ornamen yang berhubungan dengan udara yakni berupa garuda, burung dan mega mendung.
- Ornamen yang berhubungan dengan laut atau air yakni berupa ular, ikan dan katak.
Tiap-tiap ornamen yang diaplikasikan pada batik semen inipun umumnya juga memiliki makna berbeda satu sama lain. Berikut penjelasan singkatnya.
- Meru melambangkan tanah atau bumi atau gunung tempat para dewa, melambangkan keadilan.
- Lidah api melambangkan api (agni) atau dewa api, lambang kesaktian untuk membela kebenaran dan menghukum yang bersalah;
- Baito atau kapal laut dianggap sebagai lambang air atau banyu. Pada motif-motif lain air ini dilambangkan dengan binatang-binatang yang hidup di air seperti ular dan katak menjadi simbol sifat pemaaf.
- Burung menjadi lambang dunia atas atau udara. Kadang-kadang digambarkan dengan binatang lain yang terbang misalnya kupu-kupu melambangkan penghargaan / anugrah
- Garuda atau rajawali, matahari dan tata surya melambangkan kebijakan dan keteguhan hati.
- Rembulan mempunyai makna ndaru atau wahyu yaitu semacam cahaya gemerlapan, lambang kegembiraan dan ketenangan.
- Dampar atau singgasana menjadi simbol kekuasaan yang adil dan mengayomi rakyat. Biasa dilambangkan dengan mahkota yang digubah seperti garuda.
- Binatang yang hidup di darat, melambangkan dunia tengah atau alam semesta. Ornamen ini bisa dimaknai sebagai kedudukan tinggi yang andhap asor atau rendah hati.
- Pohon hayat atau bumi juga melambangkan dunia tengah melambangkan dharma.
Pemakai motif semen diharapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu melindungi bawahannya. Adapun aturan pemakaian motif semen yang tertuang dalam Pranatan Dalem yaitu sebagai berikut:
- Kampuh motif semen gedhe sawat gurdha dipakai untuk cucu sultan, istri para pangeran, penghulu, wedana ageng prajurit, bupati nayaka lebet, bupati nayaka njawi, bupati patih kadipaten, bupati polisi, pengulu landraad, wedana keparak para gusti ( nyai riya), bupati anom, serta riya bupati anom.
- Kampuh semen gedhe sawat lar dipakai untuk buyut dan canggah sultan.
Namun ada satu pengecualian dalam pemakaian motif semen. Motif semen tanpa lukisan meru, garuda (sawat) dan sayap (lar), boleh dipakai siapa saja tanpa harus memperhitungkan garis keturunannya.
Itu dia pembahasan singkat mengenai batik larangan lengkap dengan fungsi dan makna filosofinya yang terkandung di dalamnya. Sampai saat ini aturan penggunaan batik larangan ini sebenarnya masih berlaku lho walau hanya diterapkan secara terbatas di lingkungan Keraton Yogyakarta tidak untuk umum.
Mencari kain batik berkualitas untuk keperluan membuat baju atau keperluan lainnya?. Sahabat Fitinline mungkin bisa melihat-lihat dulu koleksi kain batik kami Di Sini.
Semoga bermanfaat.
Comments 0
Leave a CommentSend Comment
Send Reply
Anda harus Login terlebih dahulu untuk dapat memberikan komentar.