Kain tenun bentenan merupakan kain tradisional masyarakat Minahasa yang dikenal sebagai “The Hidden Treasure of North Sulawesi”. Pada awalnya kain bentenan tersebut diproduksi dari bahan dasar serat kulit kayu pohon lahendong dan sawukouw yang disebut dengan fuya, serat nenas dan pisang yang disebut koffo, dan serat bambu (wa’u) yang ditenun secara tradisional oleh nenek moyang orang Sulawesi Utara sejak abad ke-7 dan keberadaannya memegang peranan cukup penting dalam perdagangan di Nusantara hingga abad ke-15.
Sumber : http://www.myfashionjourney.com/
Nama bentenan pada dasarnya merupakan nama pulau dan teluk yang terletak di Pantai Timur Minahasa Selatan termasuk Ratahan dan Ponosakan. Mulanya wilayah perairan tersebut menjadi kawasan transit para pelaut Philipina yang melakukan perjalanan menuju Ternate pada abad ke-15. Berdasarkan cerita yang berkembang, keahlian menenun yang dimiliki oleh masyarakat Minahasa konon diperoleh dari para pelaut yang sering menetap diwilayah tersebut selama berbulan-bulan.
Sumber : http://stmonicahkyt.blogspot.com
Sejak saat itu masyarakat minahasa mulai memanfaatkan benang kapas yang dipercantik dengan pewarna alami untuk membuat kain tenun dalam bentuk Pasolongan (menyerupai kain sarung namun tanpa sambungan atau jahitan). Jenis zat pewarna yang digunakan pada kain bentenan diantaranya berupa
1. Semak Lenu (morinda bractenta) untuk menciptakan warna kuning dan akan menjadi merah jika dicampur dengan air kapur sirih.
2. Lelenu (peristrophe tinctoris) untuk membuat warna merah.
3. Sangket (homnolanthus paulifolius) kulitnya menghasilkan warna hitam.
4. Tium, sejenis tanaman merambat yang menghasilkan warna hijau dan biru.
Sumber : http://www.vemale.com/
Lantunan lagu-lagu Ruata dan do’a yang dipanjatkan sebelum penenunan berlangsung juga semakin menambah sakral kain tenun bentenan tersebut. Oleh karena itu kain bentenan hanya digunakan oleh pemimpin adat (Tonaas) dan pemuka agama atau kepala suku (Walian) dalam upacara adat serta upacara keagamaan.
Sumber : http://www.weddingku.com/
Ragam hias atau motif yang terdapat pada kain bentenan diantaranya berupa
1. Tonilama : tenun dengan benang putih dan tidak berwarna.
2. Kokera : tenun dengan motif bunga warna-warni bersulam manik-manik.
3. Pinatikan : tenun dengan garis-garis motif jala dan bentuk segi enam.
4. Sinoi : tenun dengan benang beraneka warna dan berbentuk garis-garis.
5. Tinonton Mata : tenun dengan gambar manusia.
6. Tinompak Kuda : tenun dengan aneka motif berulang.
7. Kaiwu Patola : tenun dengan motif patola dari India.
Sumber : http://beeindaclub.blogspot.com/
Dalam adat setempat motif Tinonton Mata dipercaya memiliki nilai yang paling tinggi sebagai simbol leluhur pertama orang Minahasa sehingga lebih sering digunakan untuk upacara adat. Sedangkan motif Kaiwu Patola lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat tukar menukar.
Sumber : http://stmonicahkyt.blogspot.com
Masuknya Belanda ke tanah Minahasa tampaknya membawa dampak yang cukup serius terhadap status sosial dan budaya masyarakat setempat sehingga menyebabkan penggunaan kain tenun bentenan semakin jarang dan akhirnya menghilang untuk waktu yang cukup lama. Namun sejak reformasi 1998 kain bentenan mulai diproduksi kembali dan kini dijadikan sebagai seragam wajib bagi pegawai negeri di Sulawesi Utara.
Sumber : http://beeindaclub.blogspot.com/
Kain tenun bentenan memiliki peranan yang cukup besar dalam lingkaran kehidupan manusia, seperti kelahiran, pernikahan dan kematian sekaligus perlambang status sosial dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Mengingat teknik pembuatannya yang sangat rumit dan memakan waktu yang cukup lama, tidak mengherankan jika kain tenun bentenan tersebut dikenal sebagai kain bermutu paling tinggi di dunia.
Sumber : http://m.kompasiana.com
Semoga bermanfaat.
Comments 0
Leave a CommentSend Comment
Send Reply
Anda harus Login terlebih dahulu untuk dapat memberikan komentar.